Asrama Pius X

ASPIK BENTUK  KEHIDUPAN SPIRITUALITAS

Saat memasuki Gereja Santa Maria Pengantara Lahat, tampak tulisan asrama putra St.Pius X berwarna kuning keemasan terpampang di bagian depan bangunan  berlantai dua ini. Bersihnya lingkungan sekitar asrama dan keramahtamahan para penghuni asrama akan kita jumpai.

Berdirinya asrama ini berawal dari keinginan almarhum Pastur Leo Kwanten SCJ yang saat itu menjadi Pastor Paroki  di Gereja Santa Maria. Tujuan Pastur Leo Kwanten SCJ mendirikan asrama ini, ia ingin mengumpulkan orang-orang muda gereja. Asrama putra kini lebih dikenal dengan nama ASPIK yang berarti Asrama St Pius X. Warga Asrama merupakan siswa SMP dan SMA Santo Yosef Lahat yang jauh dari orang tua. Mereka berasal dari luar kota seperti  Palembang, Pagaralam, Lubuk linggau, Muara Enim, Tanjung Enim, Tanjung Sakti, Medan, Jakarta hingga Papua. Sejak meninggalnya pastor Leo Kwanten SCJ  1 November 1999, asrama di tutup dan vakum selama beberapa tahun. Selama tutup asrama tidak mendapatkan perawatan yang layak, hal ini menyebabkan beberapa fasilitas yang ada rusak. Pada tahun 2005 Romo Yoseph Sutrisno,SCJ yang saat itu menjadi pastor paroki Lahat berinisiatif untuk membangkitkan kembali asrama yang sudah vakum beberapa tahun.

Setelah Romo Yoseph Sutrisno,SCJ dipindah tugaskan , aspik dipegang oleh Setia Dodo Utama, Fr. Driyan yang sekarang sudah ditabiskan menjadi pastur serta Rm.Endrakaryanto SCJ , pastur paroki di gereja Santa Maria .  Sekarang asrama putra St. Pius X begitu terlihat rapi, bersih dan terawat , apalagi asrama ini baru direnovasi. Dana renovasinya pun cukup besar yang berasal  dari dana Karya Misi, sumbangan dari individu yang merupakan alumni dari asrama ini serta umat paroki yang ikut ambil bagian dalam karya.  Hadirnya Aspik menumbuhkan kerukunan, kebersamaan dan rasa kekeluargaan yang tinggi diantara mereka. Mereka yang berasal dari berbagai daerah hidup dalam kebersamaan, saling menerima perbedaan masing-masing, dan menjalin persahabatan yang erat.

“Saya merasa senang karena teman-teman di sini baik dan keren abies”, ungkap Roni Aritonang, siswa kelas XI IPS 2 SMA Santo Yosef  yang sudah dua tahun menjadi warga Aspik. Roni, kebanyakan warga asrama memanggil, sangat betah di asrama. Cowok kelahiran 1 April 1993 ini  rela meninggalkan kampung halamannya  Muara Enim untuk pendidikan di SMA Santo Yosef yang gemanya sampai pelosok Muara Enim. Hal senada diungkapkan juga oleh  Nico Parulian.S. Cowok hitam manis asal Pagaralam ini, mengaku sangat enjoy selama tinggal di Aspik. Menurutnya aspik menjadi rumah kedua bagi dirinya. Dia merasa nyaman karena disinilah kepribadiannya dibentuk dengan matang, kehidupan spiritualitas dikembangkan.

Walaupun dalam  sehari-harinya hidup dalam peraturan yang cukup ketat, tetapi tidak ada warga Aspik yang mengeluh apalagi protes dengan peraturan yang ada. Pembimbing asrama membimbing dengan penuh cinta kasih. Mereka justru merasa semakin dewasa, mandiri, dididik dan dilatih menjadi orang yang bertanggung jawab dalam segala hal.  Siapa lagi yang akan meneruskan kehidupan spiritualitas, iman dan cita-cita yang diperuntukan untuk kaum muda kita? Selain kita sendiri sebagai kaum muda yang akan datang.  Aspix, tempat memperoleh jati diri yang matang dan masa depan yang cerah.

Tinggalkan komentar